fanboy iii

A Groovy Kind of Love

Hanja
5 min readFeb 4, 2024

Bunyi kegaduhan Tian dengar dari luar kamar. Siapa lagi pelakunya kalau bukan suaminya. Ia mengabaikan dan memilih untuk lebih fokus pada ponsel dalam genggamannya. Layarnya memperlihatkan ruang obrolan antara miliknya dan milik Panji. Tanpa sadar dirinya terkikik karena merasa lucu dengan tingkah suaminya yang sedang butuh.

Setelah puas tertawa, Tian meletakan ponselnya di nakas, kakinya melangkah maju menuju meja rias. Tangannya terulur mengambil benda kesayangannya. Ia putar bagian bawahnya sampai muncul stik beraroma cherry, kemudian mempolesnya di kedua bilah bibir penuhnya. Seusai memakai lipbalm, ia kembali ke singgasana. Kepalanya bersandar pada papan ranjang, matanya menerawang plafon; memikirkan apa yang akan terjadi dalam satu menit kedepan.

Pasang matanya berpindah ke pintu yang baru saja dibuka secara kasar. Menimbulkan reaksi kaget pada jantungnya. Tian menghela nafas maklum. Di sana ada Panji yang tersenyum teramat lebar dengan tangan yang masih menggenggam gagang pintu. Ia terlihat begitu bersemangat lantara tak lama lagi dirinya akan mendapatkan vitamin C dari suami cantiknya. Vitamin Cium.

“Kaya orgil kamu mas senyum-senyum begitu.”

“Namanya juga lagi seneng, dek. Hehehe “ Panji menutup pintu dan melangkah mendekati ranjang. Ia duduk di pinggir sisi kanan. Senyumnya masih belum luntur, justru semakin mengembang seolah-olah bibirnya tak merasakan rasa pegal.

“Sumpah, kamu bikin aku merinding.”

Panji tertawa kecil. Kepalanya menunduk. Tangannya mulai memijit-mijit kaki Tian, mencoba untuk mengendurkan otot-ototnya yang sudah seharian bekerja. “Pegel gak, dek? Seharian kamu beberes rumah. Maaf, ya mas cuma bisa bantu sedikit.”

Tian memejamkan matanya. Ia merasa rileks dan nyaman oleh sentuhan dari Panji. “Gak terlalu. Gak usah minta maaf, toh emang aku yang mau kerjain semuanya.”

“Ya, tetep aja dek masnya merasa bersalah karena udah bikin kamu capek.”

“Kamu gak minta maaf tuh buat yang malam itu udah bikin aku pegel sebadan-badan.”

Panji paham konteksnya. Terlampaui paham. Ia kembali mengingat-ingat kejadian malam itu. “Itu kan kamu yang minta buat gak berhenti ya aku nurut aj — aduh!” Panji mengusap-usap lengannya yang baru saja terkena pukulan dari Tian.

“GAK USAH BAHAS ITU!” Wajahnya merah, pandangannya beralih asal bukan terpusat di suaminya. Tanda ia sedang salah tingkah.

“Ini kamu jadi minta cium gak? Kalo gak jadi aku mau tidur aja.” Sudah siap menyingkap selimut malah ditahan sama yang lebih tua. “Jangan dong. Kamu gak kasian sama mas emangnya? Aku udah lama gak dapet cium dari kamu.”

Benar. Apa yang diucapkan Panji benar adanya. Terakhir mereka melakukan dua bulan yang lalu. Setelah itu tidak ada aktivitas intim maupun seksual dikarenakan Panji yang sibuk dengan pekerjaan dan Tian yang sibuk dengan dunianya. Keduanya tahan berlama-lama untuk tidak saling bersentuhan. Namun yang namanya perasaan pasti ada saatnya tak bisa lagi dibendung. Seperti di saat ini lah, di titik keduanya ingin melepas hasrat satu sama lain. Ingin berbagi kehangatan, cinta, dan kasih sayang lewat kecupan mesra.

Kalau boleh jujur, Tian sudah mendambakan ini dari jauh-jauh hari. Itu mengapa ia langsung mengiyakan ajakan sang suami.

Panji meraih jemari Tian, ibu jarinya mengelus cincin yang melingkar di jari manis suaminya. Rasa bahagia seperti saat Tian menerima lamarannya kembali hadir mengisi ruang hatinya.

“Sayang,” ucapnya pelan. Panji mengangkat kepalanya. Kedua matanya bertubrukan dengan milik cintanya. Tian tidak pula menjawab. Bibirnya terkunci rapat-rapat. Ia dibuat hanyut dalam sekali kejap. Tatapan Panji seperti punya kekuatan magis dibaliknya.

Kedua jiwa itu saling tenggelam untuk menjelajah, mencari-cari letak cinta yang tersembunyi di dalam jelaga mata. Setelah menemukan, Panji mendekatkan wajahnya. Semakin dekat, dekat, dan dekat hingga tersisa hanya dua jengkal. Tian bisa rasakan nafas suaminya yang memburu, sedangkan nafasnya sendiri ia tahan. Saat Panji mendaratkan bibirnya di atas bibir Tian, barulah ia memejamkan mata.

Permainan dipimpin oleh yang lebih tua, tentunya. Dikecup, dilumat, disesap sampai bikin yang muda mabuk kepayang. Meskipun Panji bermain lembut dan jauh dari kata menuntut, Tian tetap berusaha mengimbangi temponya. Panji mendorong pelan tengkuk Tian guna memperdalam cumbuan mereka. Pun Tian yang mengalungkan tangannya di leher sang suami.

Keduanya seakan-akan melayang di awang-awang. Melupakan sejenak bumi yang mereka pijak. Baik Panji maupun Tian tengah sibuk menyalurkan afeksi dan beri banyak tanda cinta. Tian bisa merasakan letupan-letupan hebat menggerayangi rongga dada. Rasanya seperti ada yang mau meledak. Ada pun kupu-kupu kecil yang berterbangan membuat sensasi geli menggelitik di perutnya. Ia terbuai oleh permainan seorang Panji Wardhana.

Tian memukul-mukul dada yang lebih tua saat dirasa pasokan udara yang kian menipis. Panji menjauhkan wajahnya perlahan; menciptakan benang saliva yang terbentang dari ujung bibirnya dan bibir bengkak suami cantiknya.

Panji mengusap bibir Tian. “Rasa cherry, dek. Lebih manis dari yang strawberry. Mas suka.”

“Tadi mas terlalu nuntut, ya? Bibirnya sampai bengkak gini.” Tian menggeleng. Dadanya kembang-kempis memaksakan oksigen masuk untuk mengisi paru-parunya.

Panji menyingkirkan poni Tian, kepala yang muda ia tangkup. Hidungnya sengaja ia gesekan ke puncak hidung Tian. Hal itu membuat si manis tertawa kecil. Kemudian ia membubuhkan kecupan di keningnya. “Mas sayang banget sama kamu.”

Kecupan itu pun turun ke kelopak mata. “Mas juga cinta sekali.”

Turun lagi sampai ke pipi. “Tian.”

“Saya betulan jatuh hati sama kamu.”

Tian mendengar itu sekonyong-konyong memeluk setengah jiwanya. Kepalanya ia tenggelamkan di dada bidang suaminya. Pelukannya amat erat seperti tak rela ingin melepaskan. Panji pun membalasnya tak kalah erat. Potongan setengah hati di diri mereka telah menyatu sempurna seiring degup jantung mereka berdetak beriringan.

“Aku pun sayang sama mas. Aku cinta banget sama mas sampai tumpah ruah saking banyak cintanya. Kamu selalu punya cara buat aku jatuh cinta setiap harinya. Mungkin, mungkin cinta kamu itu besar, tetapi punyaku, gak akan ada habisnya. Aku udah janji sama Tuhan untuk bersedia hidup semati sama kamu. Pun aku udah beri seluruh hidup dan cintaku untuk kamu seorang. Jadi, ayo, ayo kita sama-sama saling cinta dan sayang supaya semoga kebahagiaan ini bisa berlangsung sampai selamanya.”

“Terima kasih sudah mau menerima mas tanpa melihat kurang dan jeleknya. Mas akan selalu berusaha untuk jadi pasangan yang terbaik buat kamu. Semoga kata selamanya bisa jadi milik kita ya, sayang. Cinta sekali saya sama kamu.”

Lengkap.

Cinta keduanya sudah lengkap.

Cukup dengan hal sekecil ini mereka sudah bahagia.

Memang tidak ada yang bisa menjamin kata selamanya. Namun, hal itu bisa diusahakan sama-sama.

Karena atas dasar saling cinta, semuanya akan jauh lebih mudah terasa.

--

--

Hanja
Hanja

No responses yet